Minggu, 09 April 2017

Rawe-Rawe Ranatas Malang-Malang Putung



                Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Dalam khasanah sastra Jawa dikenal apa yang dinamakan bebasan, sanepan, atau saloka. Merupakan bentuk peribahasa yang berisi makna kiasan sebagai sarana mempermudah penggambaran suatu keadaan. Keadaan bisa berupa fakta realitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan suatu kenyataan yang paradoksal. Dirangkai dalam gaya bahasa, kata dan kalimat yang indah, lembut agar tidak mudah menyinggung perasaan orang namun mudah sebagai pengingat dan penyemangat.
Arti dalam bahasa Jawa:
-          Rawe-rawe rantas malang-malang putung artinyasamubarang kang ngalang-alangi bakal disingkirake.
Arti dalam bahasa Indonesia:
-          Rawe-rawe rantas malang-malang putung artinya segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan.
Arti harafiahnya adalah:
-          Rawe-rawe : tanaman merambat yang melingkar dipohon, dengan buah berwarna coklat, berbentuk seperti buncis berbulu yang membuat gatal ; daunnya seperti daun sirih berbulu.
-          Rantas : putus
-          Malang-malang: melintang
-          Putung : patah
Jadi  (tanaman) yang menjulur-julur harus dibabat sampa habis dan yang menghalang-halangi jalan harus dipatahkan.
Semboyan atau tekad untuk menghapus kezhaliman yang mencekeram rakyat, apa pun yang dihadapi akan dilawan habis-habisan apabila sudah di luar perikemanusiaan.Peribahasa ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki  kehormatan dan harga diri.
Seandainya kehormatan dan harga diri tersebut diinjak-injak, mereka siap membelanya sampai titik darah penghabisan.Beberapa aspek yang sangat dimuliakan dan dijaga tersebut, antara lain kepercayaan masyarakat, kemanusiaan, keselamatan orang banyak, kemerdekaan bangsa dan negara. Meskipun ungkapan ini terkesan keras, tetapi bukan merupakan tantangan.Ketika membela diri, mereka siap berjuang sampai titik darah penghabisan.
·         Mengapa orang –orang menyebut Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung
Adapun rawe-rawe rantas malang-malang mutung merupakan salah sau falsafah Jawa yang digunakan Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu ujung tombak untuk mengobarkan semangat juang rakyat dalam melawan penindasan dan penjajahan kolonial Belanda serta memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan Indonesia. Walaupun untuk mencapainya tidaklah mudah bahkan Ki Hajar Dewantara menemui banyak rintangan baik dari internal (rasa takut ,kebodohan ,dll), dari eksternal (penjajah kolonial Belanda). Terlepas dari banyaknya tekanan dari berbagai pihak tidak melunturkan semangat juang Ki Hajar Dewantara, baik melalui tulisannya maupun tindakan menghadapi Belanda secara langsung. Meski Ki Hajar Dewantara sempat diasingkan bahkan dipenjara beberapa kali tetap tidak gentar.Perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak sia-sia , dengan semangat dan tekat yang kuat berhasil mencapai kemerdekaan Indonesia.        

perjuangan dan ajaran ki hajar dewantara



PERJUANGAN DAN AJARAN KI HAJAR DEWANTARA

A.Konsep Ajaran Ki Hajar Dewantara
a.      Bidang pendidikan : Tri Pusat Pendidikan(keluarga,sekolah,masyarakat),sistem among /tutwuri handayani,berasaskan kekeluargaan,pemerataan pendidikan.
b.      Bidang kebudayaan : Trikon (kontinyu,konsentris,dan konvergen)
c.       Bidang Politik/kemasyarakatan : Trilogi Kepimpinan (ing ngarsa sung taulada,ing madya mangun karsa,Tutwuri handayani)

           B. Fatwa Untuk Hidup Merdeka
Untuk peneguh keyakinan perjuangan kita, Ki Hadjar Dewantara memberikan kita bundelan dari beberapa ajarannya, yang disebut  Ki Hadjar sebagai “ fatwa akan sendi hidup merdeka”.
Untuk dingat-ingat,direnungkan dan diamalkan:
1.      “ Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa bangsa dan rakyat. Sastra herjendrayuningrat pangruwatin dyu berarti ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban.
Fatwa ini adalah juga candrasengkala,mencatat lahirnya Tamansiswa (tahun 1852 atau 1922).
2.      “ Suci Tata Ngesti Tunggal”
Dengan suci batinnya,tertib lahirnya menuju kesempurnaan,sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap peserta perjuangan Tamansiswa.
Fatwa ini juga sebagai candrasengkala,mencatat lahirnya persatuan Tamansiswa (tahun 1853 atau 1923).
3.      “ Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia”
Berdasarkan asas Tamansiswa,yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agama,bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya dan sama kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan kewajiban kemanusiaan,untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan bahagia dalam hidup batinnya. Jangan kita hanya mengejar keselamatan lahir, dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.
4.      “ Salam bahagia diri tak boleh menyalahi damainya masyarakat”
Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain yang seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakkan di atas  kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan “hak diri” kalau tidak bersama-sama dengan ucapan “tertib damainya masyarakat”, agar jangan sampai hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup bersama, yang juga merusak kita masing-masing.
5.      “ Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna”
Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengililingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk kodrat alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai orang seorang atau individu, sebagai bangsa maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.
6.      “ Alam hidup manusia adalah alam hidup berbulatan”
Berarti bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus ialah alam diri,alam kebangsaan dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan,ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia. Adanya perasaan ini tidak dapat dipungkiri.
7.      “ Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada Sang Anak”
Penghambaan kepada Sang Anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan kita itu kita tunjukkan kepada Sang Anak, tetapi yang memerintahkan kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara pada rakyat dan agama atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri,untuk mencapai rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.
8.      “ Tetep – Mantep – Antep”
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus tetap hati. Tekun bekerja,tidak menoleh kekanan dan kekiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu “Mantep”, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang dapat menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita.
Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita dan mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan “antep”, berat berisi dan berharga. Tak mudah dihambat, ditahan-tahan dan dilawan oleh orang lain.
9.      “ Ngandel – Kendel – Bandel ”
Kita harus “ngandel”, percaya jika kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. “ Kendel”, berani,tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya Tuhan dan kepada diri sendiri. “Bandel”,yang berarti tahan,dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi “kendel”, tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.
10.   “ Neng – Ning – Nung – Nang “
Dengan “neng”, meneng, tenteram lahir batin, tidak gugup, kita menjadi “ning”,wening, bening, jernih pikiran kita, mudah membedahkan mana hak dan mana batil, mana benar mana salah, kita menjadi “nung”,hanung, kuat sentosa,kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya “nang”, menang, dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.

Sepuluh fatwa Ki Hadjar di atas itu merupakan welingan, pesanan dan amanat kepada kaum Tamansiswa yang berjuang menghadapi kesulitan hidup dan rintangan-rintangan yang hebat terutama di waktu jaman pemerintahan kolonial. Ia menjadi mantra yang menguatkan keyakinan perjuangan kaum Tamansiswa.

C . Pedoman Operasional Praktis 
                  Yang berupa ajaran(pedoman operasional praktis):
a.       Tri Pantangan: pantang menyalah gunakan kekuasaan/wewenang,pantang
      menyalahgunakan keuangan,pantang melanggar kesusilaan.
b.      Tri sentra pendidikan: pendidikan di keluarga,sekolah,di masyarakat.
c.       Tri hayu: memayu hayuning sarira,bangsa,manungsa.
d.      Tri saksi jiwa: cipta,rasa,karsa
e.       Tri nga: ngerti,ngrasa,karsa
f.       Tri kon: kontinyu,konsentris,konvergen.
g.      Tri ko: kooperatif,konsultatif,korektif.
h.      Tri juang: berjuang memberantas kebodohan,kemiskinan,ketertinggalan.
i.        Tri logi kepemimpinan: Ing ngarsa sung tulada,ing madya mangun
      karsa,tutwurihandayani.
j.        TriN:niteni,nirokke,nambahi.

D.Nasehat
                  Hidup hemat dan sederhana,Opor bebek mateng seko awake dewek.
Orang yang ingin bebas merdeka harus berani hidup tidak menggantungkan pertolongan orang lain,harus beranu hiduo dengan usahanya sendiri,harus hidup hemat dan sederhana sesuai pendapatan.
Hidup melampaui batas kemampuan tergantung pada hutang hilang kemerdekaan diri,dikuasai orang yang menghidupinya.
·         Tirulah Hidup Cecah
·         Lebihlah usaha dari pada bicara
·         Bibit,bebet,bobot
·         Tut Wuri Handayani
·         Sedumuk bathuk Senyari Bumi
·         Ngerti-ngrasa-ngelakoni/ilmu tanpa amal perbuatan adalah kosong perbuatan tanpa ilmu pincang.

             E. Semboyan Hidup

·         Ing Ngarso Sun Tulodo   
·         Ing Madyo Mbangun Karso        
·         Tut Wuri Handayani